Agronomis yang suka menulis.

Pesta Adat dan Tantangan Digitalisasi

5 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Foto pesat adat papua oleh el jusuf
Iklan

Pesta adat Indonesia kaya akan tradisi, namun digitalisasi tantangannya. Mari telusuri Pesta Kesenian Bali, Adat Batak, dan Budaya Tana Toraja.

***

Indonesia adalah panggung raksasa yang tak pernah sepi dari ritual dan perayaan. Setiap tabuhan gong, setiap ukiran gerak tari, adalah babak yang mengisahkan identitas sebuah suku. Pesta adat—baik itu upacara panen raya, pernikahan agung, atau pemakaman leluhur—selalu menjadi simpul yang mengikat komunitas.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun, di tengah keriuhan digital yang melanda, simpul itu perlahan longgar. Gawai (gadget) dan algoritma kini menantang kesakralan tradisi. Perayaan yang seharusnya menjadi momen hadir secara fisik dan batin, kini harus bersaing dengan permintaan untuk disiarkan secara live, diunggah, dan mendapatkan likes. Esai ini akan memotret pergumulan ini, melihat bagaimana digitalisasi menguji tiga pilar adat Nusantara, dan bagaimana kita berjuang mempertahankan esensi dari warisan yang berharga ini.

1. Pesta Kesenian Bali dari Spiritualitas Menuju Konten

Pesta Kesenian Bali (PKB) di Denpasar, yang setiap tahun mampu menarik jutaan pengunjung, adalah parade agung estetika Bali. Dahulu, panggung itu adalah ruang persembahan, di mana penari dan musisi seolah berkomunikasi dengan alam dan dewa.

Kini, panggung yang sama menghadapi dilema yang getir. Semangat "ngayah" (kerja tulus ikhlas sebagai persembahan) berhadapan dengan tuntutan engagement online. Seniman muda, yang dibesarkan dalam budaya streaming, lebih memilih platform digital untuk mencari pengakuan daripada panggung desa yang sunyi.

Bukan hanya masalah tempat, tapi juga masalah kualitas kehadiran. Ketika seorang penonton datang dan mematikan gawai, ia menyaksikan magi. Ketika ia datang, tetapi matanya hanya fokus pada layar ponsel untuk memastikan sudut pandang yang tepat demi instastory yang sempurna, ia hanya menyaksikan pertunjukan, dan nilai spiritualitas dari perayaan itu pun memudar.

2. Pesta Adat Batak: Panjangnya Ulos Ditaklukkan Durasi Video

Di Tanah Batak, upacara pernikahan (adat Batak) adalah maraton sosial yang sarat makna—sebuah drama panjang yang melibatkan ratusan marga dan puluhan jam ritual tukar-menukar ulos dan wejangan. Penelitian menunjukkan bahwa 90% masyarakat Batak masih teguh melaksanakan pesta ini, karena ia adalah penanda status sosial dan ikatan kekerabatan.

Tetapi pasangan muda kini menghadapi tekanan waktu dan tuntutan efisiensi. Mengapa harus melalui puluhan jam marsialap ari dan mangulosi yang rumit, jika esensi kebahagiaan bisa diwakili oleh sebuah highlight video berdurasi dua menit di YouTube?

Pergeseran ini bukan hanya tentang merampingkan acara. Ini adalah pergeseran dari budaya kolektif (di mana yang penting adalah kehadiran dan persetujuan seluruh anggota dalihan na tolu) menjadi budaya individualis (di mana yang penting adalah pasangan dan followers mereka). Ruang diskusi di balai adat tergantikan oleh ruang komentar di media sosial, membuat pesta adat kehilangan sifatnya sebagai forum kearifan komunal.

3. Festival Budaya Tana Toraja: Berburu Foto, Kehilangan Sakral

Festival Budaya Tana Toraja, dengan ritual pemakaman Rambu Solo yang dramatis dan spiritual, telah lama menarik perhatian dunia. Peningkatan wisatawan hingga 30% setiap tahun (menurut BPS) seharusnya menjadi kabar baik. Namun, pariwisata yang didorong oleh digital sharing membawa ancaman baru: komersialisasi tanpa hormat.

Banyak wisatawan kini datang hanya untuk berburu foto yang viral. Mereka berkerumun, mengarahkan lensa ke wajah-wajah yang sedang berduka, dan mengabaikan fakta bahwa mereka berada di tengah ritual keagamaan yang amat sakral. Pakaian adat Toraja yang megah seolah direduksi menjadi kostum belaka, dan ritual yang penuh air mata diubah menjadi latar belakang yang eksotis.

Ketika makna spiritual upacara dihargai lebih rendah daripada nilai konten yang dihasilkannya, maka budaya itu sendiri terancam hanya menjadi komoditas pasar, kehilangan fungsi utamanya sebagai panduan hidup dan penghormatan pada leluhur.

Memahami Makna yang Terputus

Tantangan terbesar digitalisasi bukan terletak pada teknologi itu sendiri, melainkan pada putusnya transfer pengetahuan. Ketika tradisi tidak lagi diajarkan dari mulut ke mulut, tetapi dicari definisinya di Wikipedia, maka maknanya pun terdistorsi.

Data dari survei Asosiasi Penyelenggara Pesta Adat Indonesia menunjukkan bahwa 65% responden lebih memilih menonton acara secara online ketimbang hadir langsung. Mereka tahu upacara itu ada, tetapi mereka merasa cukup dengan representasi digital. Sayangnya, pengalaman ritual tidak bisa diunduh. Ia harus dirasakan melalui aroma, getaran tanah, dan tatapan mata para tetua.

Akibatnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencatat bahwa hanya 40% generasi muda memahami makna mendalam dari ritual adat. Inilah jeda yang harus kita perbaiki: digitalisasi membuat generasi muda melihat budaya mereka, tetapi tidak memahaminya.

Kesimpulan: Jembatan, Bukan Tembok

Pesta adat Indonesia adalah memori kolektif bangsa yang harus terus berdenyut. Digitalisasi adalah takdir yang tak terhindarkan, tetapi ia tidak harus menjadi penyebab kematian tradisi. Tantangannya adalah mengubah teknologi dari tembok pemisah yang mengisolasi individu menjadi jembatan yang menghubungkan masa lalu, kini, dan masa depan.

Upaya kolaboratif diperlukan: komunitas adat harus didukung untuk mendokumentasikan ritual mereka secara digital yang akurat dan penuh hormat. Pemerintah, lembaga pendidikan, dan pelaku industri kreatif harus bekerja sama menciptakan platform yang tidak hanya menampilkan keindahan, tetapi juga menjelaskan kedalaman makna di baliknya.

Jika kita berhasil, pesta adat akan terus digelar di balai desa yang ramai, dan live stream hanyalah pengundang bagi mereka yang raga terpisah. Warisan budaya kita akan tetap hidup—tidak hanya sebagai data di server, tetapi sebagai ruh yang bersemayam di hati setiap anak bangsa.

Daftar Referensi

  • Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. (2022). Laporan Tahunan Pesta Kesenian Bali.

  • Universitas Sumatera Utara. (2021). Penelitian tentang Pesta Adat Batak.

  • Badan Pusat Statistik. (2023). Statistik Pariwisata Tana Toraja.

  • Asosiasi Penyelenggara Pesta Adat Indonesia. (2022). Survei tentang Partisipasi Masyarakat dalam Pesta Adat.

  • Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2021). Laporan tentang Pemahaman Generasi Muda terhadap Budaya Tradisional.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Nurzen Maulana

Penulis Indonesiana

4 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler